31 May 2009

NEO-INDONESIA


Ketika reformasi bergulir kencang tahun 1998, yang dicita-citakan amat jelas. Meski rumusannya beragam, jalannya cenderung “bongkar dulu”, kekuatan reformasi yang tersebar, strategi pencapaian yang belum rinci, di kedalaman cita-cita itu berujung pada kata “Indonesia baru”, yakni Indonesia yang lebih baik : demokratis, adil dan sejahtera.

Rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada sistem politik otoritarian, sistem ekonomi yang tidak adil karena perselingkuhan kekuasaan dengan bisnis, sistem hukum yang tidak berjalan dan koruptif, kesenjangan kemakmuran, dan sebagainya. Rakyat memimpikan Indonesia yang dicita-citakan, Indonesia yang bisa menjadi “rumah besar” yang aman dan nyaman bagi semua, Indonesia for all. Eksistensi dan kemajuan Indonesia musti mendatangkan faedah secara adil bagi seluruh rakyat, dan itulah yang selanjutnya menjadi penyangga dan sekaligus turbin penggerak bagi kemajuan Indonesia selanjutnya, terus-menerus, tanpa henti.

Yang acapkali sebagian kita kurang sadar adalah bahwa membangun “Indonesia baru” tidak bisa seperti Bandung Bondowoso membangun Candi Sewu untuk Loro Jonggrang. Tidak bisa juga seperti tanam padi, tanam sayur dan tanam jagung. Tamsilnya mirip tanam kelapa atau pohon jati. Butuh waktu yang tidak pendek, butuh proses dan menghajatkan tahapan-tahapan yang berkelanjutan. Rumus sosiologis pergerakan masyarakat dan bangsa tidak bisa dinafikan.

Itulah yang sudah dilewati oleh Indonesia, sepuluh-sebelas tahun terakhir. Masa Presiden Habibie jelas telah menanamkan saham yang besar. Jaman Presiden Abdurrahman Wahid telah memberikan kontribusi penting. Periode Presiden Megawati Soekarnoputri juga memproduksi kemajuan yang lumayan. Perjalanan pemerintahan Presiden SBY telah berhasil membangun pondasi yang kuat dan tepat lokasi untuk “rumah masa depan”, yakni “Indonesia baru” itu.

Segalanya mengalami pembaruan dan kemajuan. Ada yang berjalan cepat dan ada pula yang masih perlu didorong dengan keras. Keamanan dan ketertiban publik makin baik. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi makin nyata. Kemajuan ekonomi bukan saja mampu menjaga momentum pertumbuhan, tetapi juga berhasil menekan angka kemiskinan dan pengangguran. Ketahanan pangan mulai terbangun dengan cukup meyakinkan. Demokrasi dan kebebasan tumbuh dan mekar dengan ukuran-ukuran yang makin relevan. Martabat dan peran internasional Indonesia makin pulih dan bahkan cenderung meningkat. Dan banyak lagi yang bisa kita sebut. Artinya, jalan menuju “Indonesia baru”, sebagaimana dicita-citakan reformasi 1998, sudah pada lintasan yang tepat. Tinggal dilanjutkan dan didorong lebih akseleratif.

Yang justru musti kita perbarui adalah tradisi kompetisi politik. Ini soal budaya kompetisi dan mentalitas. Terus terang, ini penting. Agar tatanan baru, jalan baru dan pergerakan baru menuju Indonesia yang kita cita-citakan, juga diikuti dan bahkan ditopang oleh mentalitas dan kultur politik baru yang dewasa dan demokratis. Kita harus dengan sadar “memuseumkan” cara-cara kompetisi politik lama yang ketinggalan jaman. Dendam, permusuhan, pembunuhan kharakter, fitnah, hanya siap menang, kasar, suka kekerasan, dan sejenisnya adalah stok lama yang sudah harus ditarik dari pasar politik demokrasi modern. Sudah old fashion dan bahkan kontraproduktif.

Kita masih ingat dengan cara Orde Baru yang rajin melakukan labelisasi untuk pihak-pihak yang dinilai sebagai “musuh” stabilitas. Istilah “ekstrim kanan” dan “ekstrim kiri” sangat populer dan efektif waktu itu. Itulah cara Orde Baru untuk mencitrakan bahwa adanya ancaman kelompok-kelompok yang membahayakan negara dan rakyat.

Di jaman demokratis, jaman baru, perjalanan menuju “Indonesia baru” sekarang ini, apakah kita justru akan menjadi murid politik labeling khas Orde Baru? Secara tidak sadar, labelisasi seperti “neolib”, menunjukkan belum terjadinya transformasi mentalitas dan kultur politik baru yang demokratis.

Jalan menuju “Indonesia baru” akan lebih lempang jika mental politik kita juga diperbarui. Kompetisi dilakukan dengan mengutamakan tawaran substansi, kebijakan, platform, program, agenda kerja dan langkah-langkah yang nyata. Itulah yang musti disosialisasikan sebagai materi kampanye. Bukan hal-hal yang sumir dan manipulatif. Bahkan sangat baik jika diperdebatkan secara terbuka dan habis-habisan. Tidak cukup dengan agenda debat yang disediakan oleh KPU. Itu baru neo-Indonesia. Wallahu a`lam

Sumber : bunganas.com

No comments:

Post a Comment