20 January 2009

Sjahrir (obituari)


Agustus 6, 2008 oleh syahrir

Sjahrir adalah sebuah pesta. Karena itu ia penuh warna. Dalam pesta, orang bergerak dari satu orang ke orang lain, dari tempat duduk ke lantai dansa, dari satu obrolan ke obrolan lain. Pesta adalah persinggungan dengan pelbagai titik. Mungkin itu sebabnya Sjahrir punya sederet atribut : ekonom, dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), aktivis, pelaku pasar modal, pemimpin partai, penasehat ekonomi Presiden – dan mungkin juga seorang selebritis. Pesta dan titik singgung itu tak lagi disana. Salah satu ekonom terbaik Indonesia itu meninggal dunia dalam usia 63 tahun pada tanggal 28 Juli 2008. Apa yang harus dikenang dari Sjahrir yang lahir di Kudus 24 Februari 1945 ?

Bagi saya, Sjahrir –kawan, kakak dan guru saya– adalah sebuah inspirasi, sebuah kontroversi dan sekaligus sederet pertanyaan. Pertanyaan pertama yang muncul: bagaimana seorang yang menulis disertasi tentang kebutuhan pokok, dapat begitu tangkas bicara membela pasar bebas. Mereka yang terpasung dan menggemari kategorisasi atau kiri atau kanan, atau sosialis atau liberal akan kesulitan untuk menjawabnya.

Jika kita membaca lagi disertasi, yang ditulisnya dibawah bimbingan ekonom terkenal Prof. Peter Timmer, di Harvard University, Sjahrir menulis bahwa yang dibutuhkan untuk membantu rakyat miskin adalah pendekatan pemerintah (perdefinisi kebijakan negara) untuk mempengaruhi alokasi sumber daya melalui pasar atau institusi lain, sehingga dapat terpenuhinya konsumsi minimum dan pelayanan strategis seperti pendidikan dan kesehatan. Disini Sjahrir bicara soal infrastruktur. Ia sudah bicara soal itu di pertengahan tahun 1980 an. Saya kira pengalamannya sebagai aktivis berpengaruh besar dalam disertasi ini. Ia menunjukkan bagaimana tekanan oposisi dan gerakan mahasiswa yang mencapai kulminasi pada peristiwa Malari, tahun 1974 – yang membawanya mendekam di penjara– telah memaksa pemerintah waktu itu untuk mengubah orientasi pembangunan kepada upaya pemenuhan kebutuhan pokok.

Tetapi disisi lain, jika kita membaca uraian-uraiannya di buku “Kebijaksanaan Negara” dan pelbagai media masa dan juga bicaranya di pelbagai seminar, maka Sjahrir, yang menamatkan Sarjana Ekonomi nya dari FEUI, adalah sosok, yang dengan keyakinan seorang Friedmanian, bicara tentang ‘betapa berbahayanya’ distorsi yang diakibatkan oleh intervensi pemerintah dalam pasar. Dengan cepat kita bisa menangkap pelbagai ‘warna’ disini. Jika saja kita bisa mengidentifikasi Sjahrir dalam label “atau neo-klasik atau neo-marxis”, penjelasan tak akan seruwet ini.
Sikap ogah negara sebenarnya bukan hal yang baru. Albert Hirschman dalam bukunya Essay in trespassing : economics to politics and beyond, menulis tentang ‘persekutuan yang aneh’ atau ‘persekutuan yang tak suci’ antara pemikiran ekonomi neo-klasik dan ekonomi neo-marxis. Bagi neo-klasik, negara merintangi kekuatan pasar untuk bekerja, dan bagi neo-marxis negara dianggap sebagai sekutu perusahaan multinasional dan modal lokal atau kaum komprador. Keduanya sangat kritis terhadap peranan negara atau pemerintah. Tapi persoalannya menjadi lain, karena Sjahrir bukan seorang neo-klasik, apalagi seorang neo-marxis. Ia amat pro pasar, tetapi ide ‘kebutuhan pokok’ nya justru melihat perlunya peran negara. Itulah sebabnya Sjahrir tetap ‘tak terjelaskan’.

Satu-satunya penjelasan yang paling dekat kepada kontradiksi ini sebenarnya adalah pemikiran Amartya Sen, pemenang nobel ekonomi 1998. Sen memang memiliki posisi yang sangat unik. Ia mencoba menjembatani peseteruan teoritis antara John Rawls dan Robert Nozick. Sen mengatakan bahwa kemiskinan harus dipandang dalam konsep kapabilitas. Kapabilitas merefleksikan kebebasan yang memungkinkan orang untuk menjalankan pelbagai fungsi dalam hidupnya (functionings). Orang menjadi miskin karena ruang kapabilitas mereka kecil, bukan karena mereka tidak memiliki barang. Dengan kata lain orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Implikasinya: kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, tetapi karena aktifitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut. Itu sebabnya peran dari kebebasan menjadi begitu penting. Kebebasan adalah syarat utama dari dimungkinkannnya sebuah tindakan untuk memiliki sesuatu. Mungkin itu sebabnya, Sjahrir begitu memuja Sen. Barangkali, sadar atau tak sadar, ia menemukan pembenaran posisinya lewat argumen teoritik yang diajukan oleh Amartya Sen.

Dari Sjahrir lah saya mengenal pemikiran Sen. Saya waktu itu mahasiswanya di kelas Perekonomian Indonesia di FEUI. Bagi banyak mahasiswa, termasuk saya, ia begitu bergelora, begitu mempesona. Kuliahnya mirip orasi dengan retorika yang menyengat. Saya ingat, bagaimana ia mengkritik kebijakan pemerintah soal monpoli cengkeh BPPC –yang menurutnya—menghina otak kita. Bagi mereka yang membutuhkan amunisi untuk gerakan mahasiwa waktu itu, Sjahrir adalah sebuah inspirasi. Setahun kemudian, bersama Mohamad Ikhsan, saya menjadi asistennya di mata kuliah itu. Dari sana diskusi mengenai Sen, kebutuhan pokok dan mekanisme pasar berlanjut. Mengherankan sebenarnya, karena waktu itu saya hanyalah mahasiswa tahun terakhir, yang belum lagi genap menyelesaikan skripsi, sedang Bang Ciil – begitu saya biasa memanggilnya— sudah menjadi salah satu ekonom paling baik di Indonesia. Tak ada jarak, tak soal rentang usia, kita duduk bersama mendiskusikan gagasan dan berdebat. Sjahrir memang tak mengenal senior-junior. Ia memperlakukan orang sebagai teman, karena ia tak pusing dengan struktur hirarki yang memasung. Saya sulit membayangkan, seorang dosen senior, ekonom kelas satu, datang ke rumah menjemput asistennya untuk berangkat ke kampus bersama! Jam 6.30 pagi hari Rabu, Sjahrir dengan tak sabar menunggu didepan rumah saya. Saya sering bangun terlambat dan bergegas lari keluar rumah. Tegurannya khas, tajam –agak tak sabar– tapi bersahabat” Gue heran sama lu De, susah banget bangun pagi! Lu nggak sempet makan kan? Ntar kita cari makan.” Bang Ciil memang pribadi yang hangat, cerdas dan kocak.

Ia tak pernah tersinggung bila dilingkungan terdekatnya di olok-olok soal postur tubuhnya. Seorang teman mengatakan alasan Ciil jarang mengetik dengan komputer adalah karena jarinya lebih besar dari tuts nya. Ia akan tertawa renyah mendengar ini. Saya juga tak akan lupa, ketika peristiwa Semanggi II, bersama beberapa kawan, kita berada di Universitas Atmajaya, kita berlari menghindari peluru karet yang ditembakkan aparat. Sjahrir juga ikut berlari. Didepan, tembok pagar menghadang, Sjahrir diangkat bersama-sama keatas pagar, ia melompat dan jatuh masuk selokan yang kotor!

Sjahrir memang sebuah pesta. Ia penuh warna. Ia punya berbagai atribut. Sjahrir pernah menjadi pelaku pasar modal, ekonom sekaligus juga seorang aktivis. Mungkin hanya Sjahrir sendiri yang bisa menjelaskan tentang posisi ini. Tetapi jika kita ingin melihatnya dalam konteks pemikiran ekonominya, maka disini sebenarnya terlihat kekuatan dan sekaligus kelemahannya. Sebenarnya menjadi ekonom dan sekaligus pelaku pasar modal bukanlah cerita baru. Keynes dan David Richardo adalah seorang ekonom sekaligus pedagang surat berharga. Karena posisi ini pula –lewat Richardo– ekonomi menjadi in dikalangan kaum borjuasi. Bila sebelumya di salon-salon di Inggris dibicarakan tentang drama Shakespeare atau sonata nya Purcell, maka konon karena Richardo kelompok borjuasi bicara tentang penggunaan modal dan pembentukan harga. Sjahrir sendiri pernah memilih untuk mengambil dua posisi sekaligus : pelaku pasar modal dan ekonom. Keunggulannya : ia tentu saja mampu menghubungkan sesuatu yang kerap disebutnya “macro-micro lingkange”. Tetapi harga yang harus dibayarnya adalah kita tak menemukan lagi karya akademis yang ketat, seperti disertasi Ph.D nya.
Ketika krisis ekonomi terjadi, saya kira Sjahrir cukup jujur dengan pelbagai keterbatasan penjelasan ekonomi saat ini. Praktis memang belum ada satu ekonom pun yang dengan sempurna dapat memberikan resep untuk menjawab krisis ekonomi saat itu. Penjelasan yang ada sekarang pun, saya kira bersifat post factum. Ia seolah benar, karena menjelaskan setelah kejadian. Saya kira Sjahrir benar, kita memang butuh ruang untuk kontemplasi.

Minat dan energinya didalam politik amat kental. Ada sebuah tulisannya di Harian Neraca yang kalau tak salah berjudul ‘Yang ada dan yang tiada’, dengan nada getir dan masygul ia menulis – saya kutip dari ingatan—“yang ada kini legalitas dan konstitusi. Yang hilang adalah legitimasi. Yang ada sekarang adalah kabinet reformasi, tapi kita kehilangan pelaksanaan reformasi….” Lalu ia mengatakan: daripada mengutuk kegelapan, lebih baik mulai menyalakan lilin. Mungkin karena itulah ia memutuskan untuk mendirikan Perhimpunan Indonesia Baru yang kemudian membidani lahirnya Partai Perhimpunan Indonesia Baru.
Sjahrir memang sebuah pesta dengan beragam warna, sederet pertanyaan dan sebuah eksplorasi yang tak sudah.
Muhammad Chatib Basri Majalah Tempo, Senin 4 Agustus 2008

15 January 2009

Terimakasih Ayah, Telah Menunjukkan Kepada Saya Betapa Miskinnya Kita


Oleh : Erwin Arianto,SE

Suatu ketika seseorang yang sangat kaya mengajak anaknya mengunjungi sebuah kampung dengan tujuan utama memperlihatkan kepada anaknya betapa orang-orang bisa sangat miskin.Mereka menginap beberapa hari di sebuah daerah pertanian yang sangat miskin. Pada perjalanan pulang, sang Ayah bertanya kepada anaknya. "Bagaimana perjalanan kali ini?" "Wah, sangat luar biasa Ayah" "Kau lihatkan betapa manusia bisa sangat miskin" kata ayahnya. "Oh iya" kata anaknya "Jadi, pelajaran apa yang dapat kamu ambil?" tanya ayahnya.

Kemudian si anak menjawab. "Saya saksikan bahwa : Kita hanya punya satu anjing, mereka punya empat. Kita punya kolam renang yang luasnya sampai ke tengah taman kita dan mereka memiliki telaga yang tidak ada batasnya. Kita mengimpor lentera-lentera di taman kita dan mereka memiliki bintang-bintang pada malam hari.

Kita memiliki patio sampai ke halaman depan, dan mereka memiliki cakrawala secara
utuh. Kita memiliki sebidang tanah untuk tempat tinggal dan mereka memiliki ladang yang melampaui pandangan kita. Kita punya pelayan-pelayan untuk melayani kita, tapi mereka melayani sesamanya. Kita membeli untuk makanan kita, mereka menumbuhkannya sendiri. Kita mempunyai tembok untuk melindungi kekayaan kita dan mereka memiliki sahabat-sahabat untuk saling melindungi." Mendengar hal ini sang Ayah tak dapat berbicara. Kemudian sang anak menambahkan "Terimakasih Ayah, telah menunjukkan kepada
saya betapa miskinnya kita." Betapa seringnya kita melupakan apa yang kita miliki dan terus memikirkan apa yang tidak kita punya. Apa yang dianggap tidak berharga oleh seseorang ternyata merupakan dambaan bagi orang lain.

Semua ini berdasarkan kepada cara pandang seseorang. Membuat kita bertanya apakah yang akan terjadi jika kita semua bersyukur kepada Tuhan sebagai rasa terima kasih kita atas semua yang telah disediakan untuk kita daripada kita terus menerus khawatir untukmeminta lebih.

Best Regard

10 January 2009

Berteman dengan Kekurangan, Membangun Kepercayaan Diri

By Andrew Ho
Setiap manusia mempunyai kekurangan sekaligus bakat, kemampuan dan keunikan tersendiri. Sayangnya, tak cukup banyak orang mempunyai kepercayaan diri dan hidup bahagia. Bagi saya, liputan seputar pesta pembukaan Paralympic ke 13 di Beijing-Cina bulan Agustus 2008 lalu memberi pelajaran berharga tentang bagaimana berteman dengan kekurangan dan pentingnya kepercayaan diri untuk meraih kebahagiaan. Pembukaan acara tersebut diawali oleh aksi Hou Bin, yaitu seorang pemegang 3 medali emas lompat tinggi paralympic. Semula ia duduk di kursi rodanya. Dengan penuh percaya diri ia menarik tambang hingga posisi tubuhnya sedikit demi sedikit terangkat.

Sekali waktu ia mencoba istirahat. Sementara itu tepukan dan teriakan penonton semakin membahana untuk memberinya semangat. Perjuangan yang tak kenal lelah membuatnya sampai di ketinggian 40 meter dan berhasil menjalankan misinya menyalakan obor pembukaan Paralympic ke 13 Beijing 2008. Sesudahnya acara diisi dengan tarian para penari tuna runggu. Diantara mereka ada seorang gadis kecil berusia 11 tahun. Li Yue, kakinya cacat tertimpa reruntuhan bangunan akibat gempa bumi di propinsi Sichuan 12 Mei 2008, menari dengan penuh semangat dan senyum yang terkembang indah.
Sekalipun hanya duduk di kursi roda, ia mencoba mengikuti alunan musik dengan tariannya. Li Yue kemudian berkata, ”Gempa bumi bisa menghancurkan tubuh badan saya, tapi ia tidak bisa membinasakan impianku. Saya akan terus menjadi seorang manusia yang penuh semangat juang!” Ucapan gadis kecil itu secara eksplisit menggambarkan rasa percaya diri yang luar biasa. Ade Adepitan, seorang atlit paralympic asal Inggris, mengakui dirinya tak mudah mengagumi prestasi orang lain. Tetapi pada kesempatan tersebut dengan terbuka ia menyatakan bahwa hatinya begitu tersentuh oleh semangat Li Yue. “This is more than just sports. It’s about life, hope and not giving up. – Ini bukan sekedar olah raga. Ini tentang kehidupan, harapan dan tidak menyerah,” katanya.

Semua media yang meliput acara tersebut melontarkan pujian pada semangat kepada 4.200 atlet peserta olimpiade paralympic, karena cacat sama sekali tidak mengurangi kepercayaan diri mereka untuk menggali hal yang terbaik di dalam diri mereka sendiri. Mereka menularkan semangat kepada dunia untuk bangkit, melawan keterbatasan, dan berprestasi. Seorang pembawa acara dari sebuah stasiun televisi Perancis berkomentar, ”Inilah hadiah terindah dari China untuk dunia.”
Dari momen tersebut saya dapat merasakan bahwa penerimaan terhadap kekurangan dan kepercayaan diri mereka sangat penting untuk mencapai prestasi demi prestasi dan hidup lebih bahagia. Bagaimana dengan kita? Sebenarnya kita juga mempunyai kemampuan untuk menerima kekurangan diri kita sendiri dan memiliki kepercayaan diri. Tetapi seiring waktu berlalu dan beberapa hal, maka penerimaan dan rasa percaya diri itu mulai berkurang. Beberapa hal berikut ini mungkin dapat membantu Anda untuk berteman dengan kekurangan dan membangun kepercayaan diri.

Pertama, definisikan arti kesuksesan menurut versi Anda sendiri. Sebab rasa percaya diri berkaitan erat dengan konsep tentang arti kesuksesan. Konsep yang jelas tentang arti kesuksesan akan membantu Anda menemukan gambaran tentang beberapa hal yang Anda butuhkan atau langkah-langkah yang harus Anda lakukan. Selanjutnya biasakan untuk selalu berpikir positif akan segala kelebihan dan kekurangan yang Anda miliki. Semakin positif yang Anda pikirkan, semakin positif pula hasil yang akan Anda dapatkan. Tidak ada yang lebih kuat dan kreatif dibandingkan dengan pikiran Anda.
Kemudian, milikilah visi, karena visi dapat meningkatkan energi dan semangat. Semakin besar energi dan semangat yang Anda miliki, semakin mudah meningkatkan rasa percaya diri dan kecintaan terhadap diri Anda. Umumnya orang-orang yang mencintai diri mereka selalu mempunyai visi dan tertantang untuk meningkatkan visi mereka. Milikilah rasa syukur kepada Tuhan YME, bahwa Tuhan YME menciptakan segala sesuatu yang terbaik untuk setiap manusia dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ia miliki. Jangan mengeluh, karena hidup adalah hadiah terindah dari Tuhan YME. Dengan demikian Anda akan dapat menerima kekurangan, dan merasa nyaman dengan diri Anda dengan segala keunikan yang tidak dimiliki orang lain.

Menerima kekurangan dan meningkatkan kepercayaan diri sangat bermanfaat untuk meningkatkan 4 hal, yaitu vitalitas, semangat, energi, dan kegigihan. Empat hal tersebut sangat kita perlukan untuk melakukan hal-hal positif untuk diri sendiri maupun orang lain. Jadi jangan pernah mengabaikan diri sendiri, karena bagaimanapun juga masing-masing diantara kita berhak hidup senang dan bahagia.

08 January 2009

Terbitnya Matahari Pencerahan

Oleh Gede Prama

Seorang sahabat yang kerap disebut-sebut di dunia sufi adalah Nasrudin. Bagi sebagian orang, Nasrudin adalah simbolik dari hal-hal lucu, menghibur. Bagi sebagian yang lain, Nasrudin adalah simbol hidup yang jenius. Karena dari dia sering lahir kearifan kehidupan mengagumkan.

Suatu hari, Nasrudin lari terbirit-birit menemui gurunya. Begitu berjumpa, tanpa permisi ia langsung minta tolong: ‘Tolong guru rumah saya jadi neraka. Ada istri cerewet, mertua yang banyak maunya, putera-puteri beserta sepupu-sepupu mereka yang ribut lari ke sana ke mari. Apa pun yang guru sarankan akan saya lakukan, asal nerakanya hilang surganya datang’.

Yakin Nasrudin akan memenuhi janji, gurunya pun bertanya: ‘Apakah kamu punya binatang peliharaan?’. Dengan gesit Nasrudin menyebut ada empat angsa, enam ayam, tujuh kambing, delapan kelinci, serta sejumlah burung. Karena itu, sang guru menyuruh Nasrudin memasukkan semua binatang peliharaan ke dalam rumah, semua manusia juga harus ada di dalam, kemudian tutup pintu dan jendela rapat-rapat. Selama sebelas hari tidak boleh ada satu pun manusia atau binatang yang keluar dari rumah.
‘Tapi, tapi….’, sahut Nasrudin dengan nada gugup. Dengan sigap gurunya menjawab: ‘Jangan lupa kamu sudah janji!’. Dan terpaksalah Nasrudin kembali ke rumah melaksanakan perintah gurunya.

Sebelas hari kemudian, Nasrudin datang dengan langkah yang jauh lebih kacau dari sebelumnya. ‘Toloong guru, tolong, jangankan manusia, bahkan kambing pun sudah mau gila sebelas hari di dalam rumah’. Dengan tersenyum bijaksana gurunya berucap: ‘Sekarang keluarkan semua binatang, bergotong royong penuh gembiralah, bersihkan rumah’. Dan beberapa waktu kemudian, Nasrudin mendatangi rumah gurunya dengan wajah ceria: ‘Terimakasih guru, rumahnya sudah jadi surga!’.

Inilah cerita manusia dari dulu hingga sekarang. Banyak rumah kehidupan yang berubah jadi neraka karena saling benci dan saling memarahi. Tatkala ia diakhiri, rumah dengan manusia dan binatang yang sama pun jadi surga. Dan ternyata menemukan surga hanya persoalan memilih pembanding yang tepat. Bila pembandingnya tepat (dalam kisah Nasrudin pembandingnya rumahnya yang penuh binatang), surga terbuka. Jika pembandingnya selalu yang serba lebih (lebih kaya, lebih cantik, lebih terkenal, lebih bijaksana) maka surga pun tidak pernah terbuka. Akhirnya, hidup ternyata persoalan sikap. Surga maupun neraka ternyata hasil ikutan dari sikap. Bila sikapnya keluhan dan kekurangan maka neraka yang terlihat. Jika sikapnya bersabar dan bersyukur maka surga yang tampak.

Matahari pencerahan
Mungkin karena hidup persoalan sikap inilah, kemudian sejumlah guru menyempurnakan hidup dengan sikap penuh keindahan. Awalnya memang terpaksa. Apa indahnya dihina dan dicerca? Di mana letak keindahan bencana? Seperti menggosok gigi, awalnya memang terpaksa. Namun, begitu melihat gigi putih, sehat, baru menggosok gigi menjadi kebiasaan yang membadan. Keindahan juga serupa.

Chogyal Namkhai Norbu (Dzogchen: The self perfected state) adalah salah satu contoh guru yang sudah sampai di dunia keindahan. Menurut guru asli Tibet ini, tidak ada yang perlu dirubah, tidak juga memerlukan pelepasan. Tugas murid Dzogchen hanya satu: melihat! Persisnya, melihat dengan kesadaran, bukan melihat dengan pengetahuan. Kebahagiaan datang, lihatlah. Kesedihan berkunjung, lihatlah. Kesuksesan menjelang, lihatlah. Kegagalan bertamu, lihatlah. Dan siapa saja yang tekun berlatih melihat, suatu hari akan mengalami hidup diterangi cahaya kesadaran. Deepak Chopra (How to know God: The soul’s journey into the mystery of mysteries), bahkan menulis: ‘the only clear path to God is a path of constant awareness’. Kesadaran adalah jalan terang menuju Tuhan.

Lex Hixon (Coming home: the experience of enlightenment in sacred traditions), adalah contoh guru lain yang juga menemukan keindahan. Kebanyakan orang mudah tergoda, begitu bercerita tradisi sendiri maka ceritanya jadi indah berlebihan. Begitu bercerita tradisi orang lain, cerita pun jadi miring berlebihan. Hixon bercerita sama indahnya baik ketika bercerita soal Heidegger, Krishnamurti, Ramakrishna, Ramana Maharshi, Zen, I Ching, advaita vedanta, sampai dengan guru sufi Bawa Muhaiyaddeen.

Seperti semua sungai yang mengalir ke samudera. Sebelum sampai di samudera, sungai-sungai berbeda. Namun begitu sampai, semuanya berwajah sama: warnanya biru, bergelombang, rasanya asin, begitu ombak menyentuh pantai ia berwarna putih. Sulit untuk menyebutkan bahwa agama-agama dunia sama, sama sulitnya dengan memaksakan semua sungai harus sama. Namun, begitu tercerahkan (Hixon menyebutnya coming home), ada hal yang sama: keindahan! Meminjam pengalaman pencerahan Zen, Hixon menulis: ‘enlightenment is simply the blue lake and the green mountain’. Pencerahan sesederhana danau biru dan bukit hijau. Sederhana, murah, meriah, indah!
Cerita yang sama juga ditemukan Stephen Mitchell (The enlightened heart: an anthology of sacred poetry). Kendati bercerita dalam spektrum tradisi yang demikian luas (dari Upanishad, Lao-tzu, Izumi Shikibu, Santo Franciscus, Rumi, Kabir, William Shakespeare, Bibi Hayati sampai dengan Robinson Jeffers), semua terangkum ke dalam sebuah cerita dari keindahan untuk keindahan.

Ini sebabnya, setiap kali murid-murid kritis, skeptis, apatis sampai dengan yang suka menyerang orang lain, bertemu guru-guru tercerahkan, mereka senantiasa dinasehati untuk melanjutkan pertumbuhan, melanjutkan perjalanan. Seperti air sungai yang sedang mengalir, teruslah mengalir, temukan samudera yang berwajah, bergelombang, berasa, berwarna sama.

Seperti para pendaki ke puncak gunung di pagi hari. Ketika ditanya matahari terbit di sebelah mana, yang mendaki dari barat menyebut di depan. Pendaki dari timur menyebut di belakang. Keduanya memiliki jawaban bertentangan. Namun begitu sampai di puncak, mereka akan tertawa dengan pertentangan yang pernah dialami. Dalam tawa penuh persahabatan inilah terlihat keindahan yang menawan. Dan hidup pun memasuki wilayah dari keindahan untuk keindahan. Dalam bahasa Lex Hixon: ‘once enlightenment has dawned, we are at home every where’.

Agama Saya Cinta

Oleh : Gde Prama

Paradoks, itulah judul yang diberikan terhadap kecenderungan kekinian dalam kehidupan. John Naisbitt adalah salah satu tokoh yang berkontribusi besar terhadap populernya terminologi paradoks.

Fundamental dalam pikiran orang- orang seperti Naisbitt, bila ada kecenderungan yang keluar dari rel akal sehat, dengan mudah masuk ke kotak paradoks. Sebagian dari manusia yang memberi judul paradoks kemudian kecewa, sebagian lagi malah bertumbuh justru karena paradoks. Tulisan ini berharap, mudah-mudahan lebih banyak sahabat yang dibuat bertumbuh oleh paradoks-paradoks berikut. Tidak menjadi niat tulisan ini agar paradoks-paradoks berikut menjadi awal permusuhan dan kecurigaan baru.
Sebagian paradoks yang layak dicermati adalah apa yang terjadi di Bali, India, Tibet, sampai Timur Tengah. Bali, sebagaimana dikomunikasikan dalam waktu lama oleh industri pariwisata, adalah pulau kedamaian. Namun, di sini juga ribuan manusia dibantai karena judul komunis di tahun 1965. Di sini juga dua bom teroris meraung-raung memakan banyak jiwa manusia. Di sini juga sebuah kota terbakar karena calon presiden yang didukung tidak terpilih di tahun 1999. Di Bali juga terjadi orang yang sudah meninggal pun masih dihalangi agar pulang secara damai.

India juga serupa. Di sini lahir dua agama dunia (Hindu dan Buddha), di sini juga terlahir tokoh-tokoh spiritual yang besar dan mengagumkan, dari Mahatma Gandhi, Ramakrishna, Svami Vivekananda, 0sho, Ramana Maharsi, sampai Buddha Gautama, Atisha, dan Acharya Shantidewa. Namun, di sini juga kebencian memacu permusuhan terus-menerus sehingga sahabat Hindu dengan sahabat Islam belum mengakhiri secara tuntas permusuhannya. Persoalan perbatasan masih memanas. Sejumlah tempat ibadah masih dijaga aparat.

Tibet adalah atap dunia. Seperti kepalanya Bumi. Dengan demikian, mudah dimengerti di sini lahir banyak sastra kehidupan yang mengagumkan (salah satu contohnya The Tibetian Book of the Dead). Namun, di sini juga kesedihan berumur teramat panjang. Dari pemimpinnya Dalai Lama sudah di pengasingan selama puluhan tahun, nasib rakyat Tibet yang penuh dengan tangisan. Dan belum ada tanda-tanda kuat kalau negeri suci ini akan mengalami perubahan.

Timur Tengah juga serupa. Di sini dua agama dunia (Islam dan Nasrani) pernah lahir. Namun, di sini juga mesin-mesin senjata meraung-raung terus memakan korban-korban manusia tidak berdaya. Israel dan Palestina belum menunjukkan tanda-tanda berdamai dalam jangka panjang. Belakangan malah semakin menyedihkan.
Dengan demikian, dalam totalitas, mudah dimengerti kalau Naisbitt pernah membaca sebuah kecenderungan mendunia: ’religion no, spirituality yes’. Agama tidak, spiritualitas ya. Ini mirip dengan pengalaman seorang remaja Indonesia yang pernah kuliah di Melbourne, Australia. Suatu kali dalam kelas yang besar jumlah mahasiswanya, dosennya bertanya: any one of you who have religion? Siapakah yang memiliki agama di kelas ini? Dan yang menaikkan tangan hanya segelintir orang. Namun, mahasiswa yang tidak menaikkan tangannya kalau meminjam pensil tidak lupa mengembalikan. Bila bertemu ibu-ibu dosen membawa beban buku agak berat, mereka cepat memberikan pertolongan. Bila antre di mana pun sangat disiplin. Tatkala bertemu sahabat lain tersenyum sambil mengucapkan selamat pagi. Bila ada teman dalam kesulitan, refleknya bekerja amat cepat untuk membantu. Bila masuk pintu lift atau pintu kereta api mendahulukan orang tua.

Karena itu, menimbulkan pertanyaan, apa agama orang-orang ini? Mirip dengan sejumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Bali. Ketika ditanya apakah Anda Nasrani, ia hanya menjawab dengan senyuman tidak bersuara. Namun, sopannya, ya ampun. Masuk rumah mengetuk pintu, lupa dipersilakan duduk, kemudian bertanya: boleh saya duduk? Bila tidak sependapat, memulai dengan kata ’maafkan kalau saya tidak sependapat’. Dan sejumlah sopan santun yang menyentuh hati.

Ini juga yang membuat sejumlah sahabat di dunia spiritual mulai bergeser: dari pengetahuan spiritual menuju pencapaian spiritual. Belajar dari Buddha lengkap dengan welas asihnya tentu baik. Membaca puisi-puisi sufi yang bertema cinta dan hanya cinta tentu berguna. Kagum dengan doa Santo Fransiscus dari Asisi tentu bermakna. Jatuh cinta sama Bhagawad Gita tentu sebuah pertumbuhan jiwa. Mendalami kebijaksanaan-kebijaksanaan Confucius tentu saja bermanfaat. Namun, mengaktualisasikannya ke dalam pencapaian spiritual keseharian tentu memerlukan upaya yang jauh lebih keras lagi.

Banyak guru yang sepakat, jembatan terpenting yang menghubungkan antara pengetahuan spiritual dan pencapaian spiritual adalah latihan. Seperti menemukan keseimbangan bersepeda, hanya latihan yang paling banyak membantu. Dan waktu serta tempatnya tersedia di mana-mana secara berlimpah. Di rumah, tempat kerja, sekolah, jalan raya, tempat ibadah, sampai lapangan sepak bola, semuanya bisa menjadi tempat-tempat menemukan pencapaian spiritual. Seperti kalimat indah Kahlil Gibran: ’keseharian kita adalah tempat ibadah kita yang sebenarnya’.

Menyayangi istri/suami, mendidik putra/putri, mencintai orangtua, menghormati tetangga, menghargai pendapat atau sikap yang berbeda, menghormati atasan, menghargai jasa pemerintah, berterima kasih kepada tukang sapu atau pembantu, dan bila mampu mencintai musuh ada- lah rangkaian pencapaian spiritual keseharian yang mengagumkan. Pengetahuan spiritual memang kaya kata-kata. Namun, pencapaian spiritual kaya akan pelaksanaan.

Kagum dengan pencapaian spiritual Dalai Lama, Richard Gere pernah bertanya kepada pemimpin spiritual Tibet ini tentang agama yang sebenarnya dianut Dalai Lama dalam keseharian. Dengan senyuman penuh di muka, Dalai Lama menjawab: agama saya yang sebenarnya adalah kebaikan. Ini mirip dengan cerita tentang mahasiswa Melbourne di depan yang tidak menaikkan tangan ketika ditanya punya agama atau tidak. Namun, dalam kesehariannya mereka rajin membantu, sekaligus jarang menyakiti. Sebagian dari orang-orang ini sambil bergumam mengatakan: ’agama saya Cinta’.

Gede Prama Penulis 22 Buku; Bekerja di Jakarta; Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara